Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TOR SIHITE




mdaudbatubara.id - “Tor Sihite” pada pencarian Google, akan langsung merespon puluhan judul berita, yang pada isinya terkait dengan ladang tumbuhan terlarang. Sedemikian bandrol dari algoritmanya yang diberikan pada gunung ini sangking sudah lamanya kondisi ini terjadi. Karena bukan kini saja…., Tor Sihite sudah merupakan lokasi sumber masalah hukum yang berlangsung selama puluhan tahun. 

Bahkan orang Mandailing rasanya sangat paham bahwa ladang ini sudah ada sebelum Kabupaten Mandailing Natal lahir. Ada beberapa lokasi yang digunakan untuk menanam tumbuhan terlarang ini. Baru-baru ini, media memberitakan tumbuhan ini ditemukan Polri sekitar 7 hektar kondisi siap panen. Tor Sihite ini adalah pegunungan di jajaran Bukit Barisan, di Kecamatan Panyabungan Timur, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. 

Wilayah yang terdiri dari beberapa desa ini, secara fisik rakyatnya tergolong kuat dan terbiasa berjalan kaki dengan jarak tempuh  yang jauh karena meraka dominan berladang. Transportasi darat ke wilayah ini hanya memiliki jalur dari Kota Panyabungan. Namun, dalam kegiatan para pemanggul tumbuhan terlarang ini, mampu memanggul hasil ke daerah perbatasan dengan jarak yang lebih jauh yakni, ke arah Tambangan, Kotanopan, Tamiang, Muara Sipongi, juga ke Kabupaten Padang Lawas, bahkan ke Rao (Sumbar) dan Kabupaten Rohul (Riau) yang jaraknya relatif jauh. 

Hal ini biasa dilakukan untuk menghindari jangkauan penegak hukum saat mengantar kepada jaringan perdagangannya, setelah berbagai modus operandi telah dikenali oleh petugas di Madina. Belum ada data yang menunjukkan asal muasal keberadaan tumbuhan ini di Jajaran Tor Sihite. Sepemahaman penulis, di bawah tahun 70-an ketika rakyat setempat masih lebih banyak menggunakan tembakau gulung (pusuk) sebagai rokok dan produk rokok pabrikan masih terbatas di Mandailing, dikenal dengan baik produk Tembakau Gunung Baringin yang diracik dan tumbuh di jajaran gunung yang sama. Bergeser beberapa kilometer ke arah Selatan dari lokasi ladang di jajaran gunung yang sama, dikenali pula desa Gunung Tua dan Simandolam (Kecamatan Kotanopan) yang berlokasi di ketinggian pegunungan. 

Ladang sekitar dua desa ini, dahulunya memproduk tembakau yang kemudian oleh seorang pengusaha bernama Haji Bustomi, mengolahnya secara manual di Desa Hutapadang, Kotanopan, menjadi produk rokok ukuran besar (cerutu). Produk ini berlambang Obor sehingga masyarakat setempat lebih sering menyebut dengen “Rokok Obor”. Dari lintasan sejarah ini, mungkin bolehlah disebut bahwa jajaran pegunungan ini memang baik untuk pertumbuhan tanaman tembakau. 

Ladang seperti ini, biasanya berjarak cukup jauh dari pemukiman rakyat. Bagi setingkat petugas negara biasanya harus berjalan dengan topografi gunung yang lumayan terjal. Dalam waktu tempuh minimal 4 jam baru dapat mencapai lokasi, dapat dibayangkan bagi orang sipil yang belum terlatih. Bagi orang Mandailing sudah hal yang lumrah mendengar ketika para petugas menemukan ladang tumbuhan terlarang terberita di media. 

Bukan saja dipimpin petinggi setingkat perwira menengah, tapi juga perwira tinggi via udara dengan menggunakan helikopter. Sehingga bagi orang awam yang kurang paham dengan pola solusi mengatasi kondisi ini sering berujar seakan ladang ini dipelihara oleh oknum tertentu dengan tujuan untuk keuntungan pihak tertentu. 

Bahkan terkadang sering dituduhkan seakan keadaan ini dikondisikan oleh pihak-pihak tertentu yang digunakan untuk keperluan pangkat dan jabatan. Kalimat inilah salah satunya yang mendorong untuk menuliskan artikel kecil ini. Keinginan untuk menjelaskan bahwa petugas sudah sangat banyak berbuat dan bergelut dengan berbagai pendeketan sesuai tupoksi dari intitusinya. 

Namun, rasanya banyak pihak yang bertanggungjawab untuk penuntasan masalah ini, malah abai. Orang-orang berkompoten sebenarnya dapat membawa kondisi ini ke parlemen karena Madina bagian dari kabupaten di NKRI yang mememiliki perwakilan di DPR dan DPD juga jenjang eksekutif di tingkat nasional. Mari berpikir positif saja, dengan asumsi bahwa mereka abai karena kekurangpahaman tugas pokoknya, bukan karena sengaja mengabaikannya. 

Kondisi yang sudah puluhan tahun ini berjalan, bila ingin dituntaskan, maka membutuhkan program yang melibatkan banyak elemen mulai dari desa itu sendiri sampai ke pemerintah pusat sebagai kumpulan kegiatan yang terkoordinasi dalam program. Tidak hanya setahun tapi butuh kontinuitas waktu yang panjang, sehingga butuh komitmen yang tinggi dari tiap pihak terkait serta keterpaduan program berupa pengorganisasian sejak perencanaan atas orang, alat, keuangan, skedule dan lainnya yang terarah dengan tujuan penanganan dengan perhatian khusus kondisi masyarakat di desa-desa yang menggunakan lahan untuk bertanam tumbuhan terlarang. 

Dalam pandangan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan, fokus utama adalah masalah perut sejengkal, yakni cara mencari nafkah yang mudah dan terjamin. Tentang perut ini sajapun mereka sudah kesulitan. Terlihat pula kondisi rumah mereka yang dominan sangat memprihatinkan karena belum layak huni. Kesemuaan ini, sangat berhubungan dengan Lingkaran Setan Kemiskinan yakni, pendapatan rendah, maka gizi rendah dan pendidikan akan rendah, menyebabkan kesehatan juga rendah. 

Faktor-faktor tersebut pun akan mempengaruhi pola berpikir yang rendah sehingga pola hidup juga rendah dan demikian seterusnya tahun ke tahun. Pengalihan kebiasan bertanam tumbuhan terlarang di sekitar Tor Sihite yang sampai saat ini masih berlangsung, tentu bukan sesederhana yang di alam pikiran. 

Menyoal BNN dan Kepolisian dapat dipastikan bahwa intitusi ini mampu membasmi ladang yang ada dalam waktu yang tidak terlalu lama, kalau targetnya hanya untuk membasmi ladang. Namun, tentu tidak sesederhana itu. Ada kebutuhan hidup tiap orang disana. Ada bagian yang harus dikerjakan intansi lain baik untuk sumber daya manusianya maupun fisik wilayah tersebut. Dari sisi SDM, disana ada perut yang membutuhkan nutrisi yang cukup, butuh pendidikan untuk merubah pola pikir, butuh pelatihan untuk membekali keterampilan, butuh pendidikan generasi muda agar melek dengan kesadaran hukum. 

Lebihlanjut butuh modal dan fasilitasi untuk memenuhi keterampilan mereka, sampai nantinya mereka punya saving. Secara fisik, wilayah ini juga harus memiliki akses transportasi yang baik, agar wilayah tersebut terbuka sehingga tidak stagnannya pemikiran masyarakat dan tidak terkesan dipinggiran yang berkonotasi wilayah tersembunyi. Ruang pendidikan keilmuan dan pelatihan keterampilan harus menjadi prioritas di desa-desa ini dalam kerangka merubah pola berpikir dan kemapanan alternatif pencarian nafkah. 

Rumah mereka yang dominan kurang layak harus di fasilitasi pemerintah, sehingga konsentrasi penggunaan dana jauh lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok lainnya. Jangan dikira penduduk desa ini hidup dengan sejahtera, mereka dominan lemah ekonomi, lemah ilmu, lemah gizi dan lainnya. Yang beruntung secara ekonomi adalah jaringan perdagangannya. Intinya harus dilakukan pemenuhan kebutuhan dan perhatian khusus kepada mereka. 

Karena tidak bisa melihat kesalahan mereka saja, akan tetapi lebih dari itu harus mencermati bagaimana potensi dari hasil tanaman mereka menyumbang terhadap rusaknya generasi di nusantara. Karena itu, harus dipikirkan secara serius bukan hanya oleh Madina tapi oleh provinsi dan negara, karena berdampak luas generasi di tingkat nasinal. 

Sisi lainnya secara antropologi, ada kebiasaan masyarakat setempat bertanam dengan cara yang sangat mudah, yang boleh disebut bahwa jenis tanaman terlarang ini termasuk bagian yang mudah untuk tumbuh dengan subur. Sehingga tidak terlalu membutuhkan banyak perawatan. Bahkan tumbuhan ini sulit untuk diserang hama. 

Sehingga faktor kemudahan ini, juga menarik bagi mereka. Artinya, bahwa kemudahan bertanam tumbuhan yang sedemikian mudah ini, harus pula diimbangi dengan pola pencarian nafkah dengan alternatif yang seimbang dengan kemudahan bertanam dan dengan harga yang menggiurkan, agar mereka tertarik dengan alternatif tata pencarian nafkah yang disuguhkan. 

Meskipun demikian, ada tantangan dan ancaman hukum yang berat yang mereka sadari, dan ini dapat digunakan sebagai peluang keberhasilan dari program ini. BNN dengan menggandeng Pertamina pernah melakukan program dan boleh disebut berhasil dalam batas dan kapasitas yang terencana. 

Dan ini bagian bukti kemungkinan keberhasilan bila ini menjadi program dari berbagai kelembagaan secara terpadu dalam satu program. Singkatnya, boleh kita ingat kembali Program Tarnsmigrasi yang hanya berorientasi kependudukan dan bukan kerusakan anak bangsa. 

Mari kita ulik pikiran kita kembali untuk belajar dari pendekatan Program Transmigrasi masa lalu, maka tak ada kata tidak bisa. Apabila semua lini dalam program ini terlibat, maka seberapa besarpun dananya bisa digelontorkan, kebutuhan waktu bertahun-tahun bisa dikonsentrasikan sampai desa-desa ini mandiri seperti pada program transmigrasi yang mulai dari nol, kemudian mereka berhasil hidup layak. 

Mereka juga bangsa Indonesia yang harus kita tuntun dengan program cerdas, cermat dan terukur dengan penuh kesabaran. Ribuan orang bisa di tata pada lahan transmigrasi dari tidak memiliki lahan sampai dapat hidup layak. Apalagi mereka yang di Tor Sihite, hanya beberapa desa yang sudah memiliki beberapa fasilitas, kemudian tidakkah pemerintah memberi untuk memberi solusi, tentu ini kondisi yang tidak masuk akal. 

Program ini menjadi lebih penting lagi, ketika kesadaran kita menyeruak pada puluhan hektar tanaman tersebut. Dapat dibayangkan seberapa besar supleynya terhadap rakyat di nusantara, sehingga sebesar apa potensinya merusak anak bangsa. Selain energi yang sangat besar untuk antisipasi parsial, juga korban mental anak negara yang sangat tinggi.  Karenanya wajib dilakukan Program Pembenahan dengan Perlakuan Khusus Desa-Desa di Tor Sihite.  


(Dr. M. Daud Batubara, MSi; Penggiat P4GN Madina)


Posting Komentar untuk "TOR SIHITE"