Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ROKOK OBOR DI KOTANOPAN



mdaudbatubara.id - Orang di Kotanopan, dahulu kurang mengenal kata cerutu, padahal di sana ada pabrik cerutu. Mereka mengenalnya dengan sebutan Rokok. Jadi rokok adalah sebutan untuk cerutu yang banyak dikenal orang pada umumnya. Sedangkan untuk rokok dalam konsep konvensional disebut dengan sigaret. Mungkin diambil dari Bahasa Belanda yang persis penulisannya sama yakni ‘Sigaret’, karena daerah ini juga lama diduduki Belanda yang tinggal di Pesanggerahan. 

Jenis rokok di daerah ini dahulu ada yang disebut ‘pusuk’ dikenal secara umum dengan sebutan rokok daun. Pusuk ini terbuat dari daun nipah yang terseleksi kemudian dijemur untuk beberapa hari hingga ia menggulung sendiri. Nipah inilah yang digunakan sebagai pelinting tembakau yang disebut pusuk tersebut. Untuk kualitas terbaik biasanya pusuk diasap dengan kemenyan sehingga memiliki aroma yang lebih menarik saat diisap. Sedangkan kualitas dibawahnya original tanpa asapan. 

Orang Mandailing biasanya memperoleh pusuk dari Sibolga atau Natal yang memiliki pantai berposisi di sepanjang pesisir Barat Sumatera Utara. Pusuk yang di import ini biasanya ada yang masih dalam ukuran sekitar satu meteran, sehingga pemotongannya sesuai kebiasaan daerah dilakukan sendiri oleh sipenjual. Kemudian ada juga yang diimport sudah dalam ukuran yang pendek dan siap pakai. Ada juga ‘Rokok Jagung’ dengan lintingan pembalut dari pelapis jagung yang dikeringkan di panas matahari atau sengaja diasapi. Di Pulau Jawa disebut dengan ‘Rokok Klobot’. 

Berbeda sedikit dengan di Mandailing, di Pulau Jawa biasanya rokok ini dalam kemasan kretek, sedang di Mandailing ibarat rokok putih sekarang. Rokok jagung biasanya dibuat sendiri dari kulit pelapis jagung yang banyak tumbuh di Mandailing. Anak remaja, sering pula menggunakan rambut jagung kering untuk dilinting sebagai pengganti tembakau saat-saat mencoba-coba dan belajar merokok. Diatas masa ini muncul pula lintingan rokok dari jenis kertas yang dikenal sebagai ‘Tiktak’, yang sampai saat ini dipedesaan masih digunakan. 

Malah saat ini, semakin menjamur kembali ketika getah turun harga derastis dan stagnan terus, hingga bertahan dan bersaing dengan rokok murah. Meskipun bukan jenis rokok tapi dengan penggunaan tembakau untuk fungsi yang sama, orang Mandailing mengenal pula “Pipa”. Alat pengisap asap tembakau jenis ini didesain dari kayu, tanduk atau jenis benda padat yang kuat menahan bara api. Sesuai namanya, pipa ini panjangnya kurang lebih 10 sampai 15 cm, sehingga asap tembakau akan masuk ke dalam mulut pengisapnya melalui lobang kecil yang memanjang dari bagian depan sampai ke ujung pengisap. 

Pada bagian depan dibuat lebih besar dengan lobang yang lebih besar pula, yang digunakan untuk penyumpalan tembakau yang akan dibakar sebagai sumber asap. Dahulunya, pipa dimiliki oleh orang-orang tertentu yang termasuk berkelas. Meskipun dengan sangat terbatas, orang dipedesaan masa lalu, juga mengenal rokok dari rotan. Rotan dikeringkan sampai diperkirakan mudah terbakar, kemudian dipotong pendek kurang lebih 7 cm. 

Meskipun berat mengisapnya, tapi rotan juga lewat pori-porinya yang teramat kecil, terkadang digunakan untuk pengganti rokok dikala tembakau tidak terpenuhi. Tentu sangat jauh dari sempurna, tapi setidaknya mulut masih merasakan asap juga dari bagian ujung rotan yang dibakar sebagai bara api. Kemajuan zaman merubahnya kemudian. Muncullah produk rokok berbagai merek sebagai rokok konvensinal seperti saat ini. Bahkan sudah pula banyak produk rokok eloktronik. Di masa 80-an Mandailing mengenal rokok konvensioanl bermerek AA, Kanzas, Commodore, Asli, Grendel, Gudang Garam dan lainnya. 

Sedang rokok Dunhill, Marlboro juga saat itu sudah ada dengan kelasnya sudah tergolong kelas atas. Di nusantara dikenal rokok dalam dua jenis yakni rokok kretek yang mengandung cengkeh dalam racikannya dan satunya rokok putih.  Disebut rokok kretek karena saat diisap menimbulkan bunyi kretek-kretek dari racikan cengkeh, sehingga disebut jenis kretek. Sisi lainnya rokok kretek ini ada aroma khas juga harum cengkeh bahkan kemenyan dan rasa manis di ujung bagian rokok yang diisap sesaat menyentuh bibir. 

Bahkan sekarang ini muncul pula rokok kretek filter. Anehnya, rokok bermerek non nusantara seperti Dunhill dan Marlboro pun, telah memiliki jenis kretek filter. Padahal di luar nusantara tidak satupun pabrik rokok yang produknya jenis filter. Jenis lainnya disebut rokok putih baik tanpa filter maupun dengan filter. 

Generasi milenial sepertinya sudah kurang mengenal rokok seperti dijelaskan di atas. Mereka saat ini sudah berhadapan dengan rorok elektrik dan konvensinal yang sangat praktis. Mereka tidak berkarakter sabar untuk melinting rokok dengan pusuk atau linting kertas, apalagi akan menggunakan pelapis buah jagung. Kembali mengulik rokok masa lalu, di Mandailing sudah mengenal dan mampu memproduksi cerutu jauh waktu dimasa kemerdekaan. Padahal cerutu dipahami sebagai jenis rokok berkelas dengan bandrol yang mahal sampai dengan saat ini. 

Cerutu ini sempat mengenyam masa jaya. Pabriknya berlokasi di Desa Hutapadang Kotanopan, yang dikelola H. Bustomi. Pabrik ini berjarak sekitar satu kilo meter dari Kotanopan, tepat di sebarang sungai Batang Gadis. Layaknya cerutu, baunya menyengat dengan khas. Di Kotanopan, cerutu ini dikenal dengan sebutan ‘Rokok Obor’. 

Sebutan Rokok Obor karena orang-orang tua setempat menggunakan istilah ‘sigaret’ untuk sebutan rokok konvensional, sedangkan untuk cerutu disebut ‘rokok’. Sang pemilik pabrik memberi produk cerutunya dengan merek ‘Obor’. Terbiasalah mereka menyebut cerutu ini sebagai “Rokok Obor’. Beranjak dari kondisi pabrik dan produk ini, bolehlah disebut sebagai bukti bahwa orang Kotanopan sejak dulu sudah memiliki keterampilan sampai pada tingkat racik rokok. 

Mereka juga sudah memiliki pemikiran bisnis setingkat pabrik meskipun manual seperti pabrik roti di Banjar Lombang-Kotanopan. Mungkin masih ada juga lainnya yang belum terinformasi saat ini. Lebih penting lagi bahwa cerutu sebagai lambang bandrol kelas tertentu, sudah merupakan bagian dari hidup mereka. Sayangnya, sampai saat ini tidak lagi ada yang melanjutkan, dan belum ada penelusuran lebih lanjut tentang meredupnya pabrik rokok ini. Tembakau yang dipasok untuk pabrik ini adalah produk lokal dari desa sekitar, di jajaran ketinggian pegunungan Tor Sihite, terutama di desa Muarapotan, Simandolam dan Gunung Tua. Sampai saat ini, meskipun dengan kualitas dan kuantitas yang cukup terbatas, tembakau ini masih diproduk masyarakat. 

Petani Muara Potan masih melakukan sampai tingkat racikan menjadi tembakau. Tembakau ini mereka konsumsi sendiri dan terkadang di jual ke Pasar Kotanopan. Nama tembakau dikenal dengan sebutan ‘Tembakau Tanduk’. Dahulunya, tembakau ini sempat menembus pasar ke penjuru Tapanuli Bagian Selatan yang sekarang, juga ke Sumatera Barat, bahkan Rokok Obor juga menjangkau Tanah Deli. Demikian pula tembakau dari desa tetangga dikaki gunung sebelahnya, penghasil tembakau yang dikenal dengan ‘Tembakau Gunung Baringin’. 

Tembakau ini, mungkin juga ikut memasok pada pabrik Rokok Obor. Tampak dengan jelas Gugus Tor Sihite ini dari sejarahnya sangat baik untuk tempat tumbuh tembakau, tentu juga mengisyaratkan bahwa mereka adalah bagian dari petani berkarakter dan terampil sebagai petani tembakau. Beranjak dari deskripsi tersebut, sepertinya ada peluang ekonomi yang baik bagi para pengusaha, terutama para mileneal untuk menelusuri kemungkinan mengulang kembali masa jaya tembakau di Kotanopan. 

Pecayalah bahwa pasar untuk tembakau sepertinya belum ada tanda-tanda akan berkurang kebutuhannya, sepanjang perokok masih terus bertambah. Sangat diyakni pemerintah juga nantinya tidak akan tinggal diam dan akan ikut support bila peluang ini membuahkan hasil. 

Kolaborasi berbagai pihak untuk mengulang kembali sejarah bobot ‘Rokok Obor di Kotanopan’, tentu akan berpeluang untuk membantu masyarakat sekitar hidup dengan lebih baik, kembali menjadi petani tembakau yang sudah leluhur mereka geluti di masa lalu. Saudara-saudara di desa-desa sekitar Tor Sihite juga tentu akan mendapat peluang hidup untuk beralih kepekerjaan yang lebih aman dan nyaman. 

Dengan peluang tersebut, dapat memberi harapan hidup untuk anak istri mereka, dan kita tidak hanya menyalahkan mereka yang berada pada posisi sulit seperti selama ini. Tulisan ini diharapkan dapat menjelaskan kembali bahagian sejarah Petani Tembakau di punggung Tor Sihite dalam hubungannya dengan bobot ‘Rokok Obor di Kotanopan’ yang menunggu kajian untuk peluang membantu petani hidup lebih baik dan lebih bermartabat. Hal ini dimanfaatkan sambil menunggu datangnya Dewi Fortuna yang respek, mampu dan berani melakukan Program Pembenahan dengan Perlakuan Khusus Desa-Desa di Tor Sihite. 


(Dr. M. Daud Batubara, MSi; Penggiat P4GN Madina)


Posting Komentar untuk "ROKOK OBOR DI KOTANOPAN"