EPENG BIAYA JIHIN
mdaudbatubara.id - Tersentak dan tergidik mendengar percakapan guru-guru di sebuah sekolah yang posisinya termasuk paling ujung. Disebut masuk paling ujung karena setelah desa tempat sekolah ini berlokasi, tidak lagi ada perkampungan, setelahnya terlihat perkebunan rakyat dan pegunungan dengan hutan yang lebat.
Saya sebut tersentak, karena mendengar “Epeng Biaya Jihin” (duit biaya jin),
tentu aneh dan gaib sangat, sehingga saya tergidik melihat mereka tertawa
ramai-ramai. Dibenak saya mereka telah mengklaim adanya jin yang perlu biaya.
Lantas muncul pertanyaan dalam benak saya, “Biaya apa yang diperlukan untuk Jin
?”.
Cerita ini terdengar secara tidak
sengaja ketika mereka istirahat di ruang guru yang kebetulan saat itu kami dari
sebuah lembaga yang disebut dengan Forum Komunikasi Pendidik (FKP) Madina
melakukan pengabdian di sekolah tersebut, dengan tujuan memberi semangat dan
motivasi dalam proses pembelajaran sebagai guru.
Sekolah ini berda di ujung desa di
ketinggian dan boleh disebut posisinya berada di bagian luar desa. Lingkungan
sekolahnya cukup nyaman, dengan angin sepoi-sepoi yang tiap saat dirasakan
dengan oksigen hasil fotosintesis pepohonan di hutan yang mengelilinginya.
Menuju sekolah ini butuh tenaga ekstra
dari desa bila berjalan kaki. Dan perlu nyali besar bila naik sepeda motor,
karena jalannya dari tanah yang cukup curam dan sebelah Baratnya tebing yang
jauh ke bawah. Tapi nampaknya bagi mereka pendidik dan peserta didik lumrah
saja karena mungkin telah terbiasa.
Celotehan bahagia mereka menarik
perhatian saya untuk lebih menguping dan akhirnya benar-benar menarik minat
saya untuk tahu dan paham subtansi pembicaraan para pahlawan tanpa tanda jasa
ini. Ternyata ceritanya benar-benar bergidik dan menarik.
Sekolah yang kepalanya ini baru diganti,
ingin membuat beberapa terobosan kecil dalam meningkatkan minat gurunya
melakukan kewajiban mengurus pendidikan di sekolah tersebut dengan lebih
serius, demi masa depan anak-anak negeri yang berdomisili di ujung jalan ini.
Mungkin sang kepala sekolah prihatin
dengan kondisi proses pembelajaran di sekolah selama ini, yang dia cermati dari
percakapan-percakapan sesama pendidik yang berlangsung selama ini.
Cerita ini ternyata berawal dari
percakapan minggu sebelumnya, dimana guru-guru menceritakan pada kepala sekolah
bahwa anak didik mereka sering mengalami kesurupan di sekolah tersebut.
Kesurupan ini sering terjadi pada salah satu ruang kelas yang posisinya berada
di sudut Barat, sejajar berseberangan dengan ruang guru dan kantor.
Pembahasan ini berkembang ketika ruang kelas
tersebut enggan digunakan oleh sekolah, padahal ruangan belajar untuk proses
pembelajaran bagi peserta didik masih dibutuhkan. Bahas punya bahas, muncullah
dari guru alasan rungan kelas tersebut enggan digunakan karena ada penunggunya
yang menurut hemat guru disebut sebagai Jihin
(Jin).
Percaya atau tidak, yang pasti guru dan
peserta didik menjadi saksi yang sering mengalami proses penanganan kesurupan
peserta didik di ruang kelas tersebut. Bukan hanya seorang tapi kesurupan ini
malah berganti-ganti.
Kepala sekolah pun mulai mencari solusi
bagaimana keengganan menggunakan ruang kelas ini menjadi dapat digunakan sama
dengan kelas lainnya. Berbagai narasi muncul mulai dari mengontrak Datu (dukun) dari orang yang biasa
membantu mereka untuk mensiumankan peserta didik, memindahkan Jihin penunggu, ada pula yang ketakutan
dengan tidak benarni komentar, sampai yang sama sekali tidak percaya. Akhir
dari berbagai narasi para guru disimpulkan akan mencari orang yang mampu
memindahkan Jihin.
Apa yang menarik dalam perdebatan
rencana mencari orang yang mampu memindahkan Jihin ?
Ada beberapa masalah di dalam proses
rencana ini yakni siapa datu yang bisa melakukan pemindahan, siapa yang
mencarinya, berapa besar biayanya dan terakhir apakah kita malu atau tidak
melakukannya.
Kemudian waktu, atas beberapa informasi
yang dicari oleh guru secara silent karena
menjaga rasa malu, diperoleh juga beberapa nama yang direkomendasikan, dari
bebarapa kampung terdekat dengan lokasi sekolah.
Sebagai para sarjana pendidikan, guru-guru
melakukan analisa terhadap variabel kemungkinan kemampuan Sang Datu; variabel jarak yang berindikator
pada waktu dan biaya transportasi; dan variabel besaran jasa per- Datu-an serta variabel tingkat
penjagaan kerahasiaan.
Dengan hasil analisa atas informasi dari
informan di desa-desa sekeliling, diperoleh perkiraan paling manjur adalah
memindahkan Jihin dengan dana paling
murah, sehingga memenuhi hasil analisa yang paling efektif dan efisien. Maka
ditetapkanlah datu dari desa “X”
dengan nama Datu “Mr. L”.
Sebagai orang berpendidikan yang penuh
kehati-hatian dan kebiasaan bertindak secara sistematis dan logis, maka sebelum
dilakukan proses pemindahan atas hasil analisa tentang penetapan datu, dilakukan terlebih dahulu
konfirmasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan proses pemindahan Jihin melalui informan yang dihunjuk
untuk konfimasi dengan Datu “Mr. L”
di desa “X”.
Timbul lagi masalah baru, ternyata
selain biaya transportasi, persyaratan sarana dan prasarana mulai dari rokok
kretek, kemenyan, abit culup (kain
hitam), pisau belati, sipulut diginjang
induri maralas bulung ujung (beras pulut yang dimasak diletakkan di atas
tampa berlapis ujung daun pisang), air bening di dalam baskom putih, kambing
jantan, burangir sa singkopna (sirih
selengkapnya) dan tali bayuon sameter (tali
dari daun pandan panjang satu meter) masih harus disiapkan. Lain lagi biaya
makan dan kebutuhan sang Datu saat
pekerjaan diproses.
Singkatnya biaya pemindahan Jihin ini ternyata tidak seperti yang
diduga besarannya, padahal telah dilakukan analisa dan diperoleh hasil untuk
menentukan Datu paling efisien,
terutama dari sisi dana.
Dapat dibayangkan kondisi guru yang
posisinya sekolahnya berada di desa penghujung, gambaran hidupnya dengan biaya
yang serba mahal kecuali sayur mayur dan air minum, akan kesulitan bila diberi
beban tambahan dana.
Disisi lain, ternyata biaya pemindahan Jihin besaran dananya diluar perkiraan
hasil analisa sehingga dianggap tidak logis bila dibebankan kepada para
pendidik di sekolah tersebut. Dengan demikian perlu lagi membuka ruang Forum Group Discussion (FGD), dari para
pendidik.
Hasil FGD, menginginkan untuk biaya
pemindahan Jihin, ditampung dari dana
resmi pembiayaan sekolah tersebut, sehingga tidak membebani para pendidik
dengan kehidupannya yang relatif susah.
Mengakomodir hasil FGD komponen pendidik
dengan demokratisnya, sang kepala sekolahpun meminta operator membuka Aplikasi ARKAS (Aplikasi Rencana Kegiatan dan
Anggaran Sekolah) sebagai sistem yang disediakan oleh
Kemdikbudristek berbentuk aplikasi penataan keuangan di satuan pendidikan.
Bolak-balik kursor di laptop bergerak, ternyata Biaya
Pemindahan Jihin tidak ditemukan item
rekeningnya. Artinya kegiatan Pemindahan Jihin
tidak dapat dimasukkan dalam ARKAS. Pupus harapan biaya Pemindahan Jihin dari opersional sekolah, dan harus
di cari alternatif lain.
Sang Kepala Sekolah menyampaikan kondisi ini kepada para
pendidiknya. Disinilah keluar kalimat “EPENG
BIAYA JIHIN”, yang sempat terdengar oleh saya dan menjadi bahan tertawaaan
di forum guru saat itu.
Seorang ibu guru dengan serius menyahuti penjelasan Kepala
Sekolah tentang ketidakbisaan ditampung di Arkas dengan kalimat: “Anggo biaya ni Jihin na marroan i sa onok
naon bisa ita bayar, baen na tarida i, tai jihin na on inda bisa di bayar tie
ibu kepala, harana inda antong nida Jihin nai”, (Kalau Jin yang berdatangan
selama ini bisa dibayarkan karena Jin nya terlihat, tapi jin yang ini tidak
bisa karena tidak terlihat jinnya).
Lebih lanjut dtambahi lagi dengan kalimat; “Padahal narap Jihin do” (padahal yang
sama-sama jin nya). Sayapun tersenyum mendengarnya cerita ini dikisahkan
kembali, tapi saya hanya bisa menafsir dan tidak bisa memastikan entah siapa
atau mahkluk apa yang mereka maksud hingga mereka terbahak-bahak bersama.
Yang pasti mereka sebagai pendidik di pedesaan ujung jalan,
ditengah senyapnya keteduhan pegunungan dengann segala pendidikan yang mereka
enyam, masih tersenyum dan bahagia bersama pada kondisi yang demikian sulit.
Saya pun tidak tau apakah pemindahan Jihin dan biayanya tersebut telah terealisasi, yang pasti cerita ini sungguh terjadi pada satu sekolah di pedesaan ujung jalan. Dan pembaca dipersilakan juga melihat makna-makna tersirat dalam tulisan ringan ini, dari banyak sisi pendidikan yang penuh makna. Penulisan identitas sengaja disamarkan untuk menjaga etika.
(Penulis Pembina pada FKP Madina).
Telah terbit di: wartamandailing
Posting Komentar untuk "EPENG BIAYA JIHIN"