IBU PENDIDIK PERTAMA DAN UTAMA KARAKTER BANGSA
mdaudbatubara.id, Hari Pendidikan Nasional 02 Mei 2022, tepat dengan hari kedua Idulfitri 1443 H yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama. Lantas, lupakah bangsa ini terhadap hari pendidikan ini. Tentu tidak, hanya saja saatnya bertepatan dengan Idulfitri dan negara menyatakannya sebagai hari libur untuk menghargai hari kebesaran agama.
Mengenang Idulfitri di masa-masa kecil di kampung, banyak orangtua yang bangga melihat anak-anaknya merokok. Rokok Kretek Gudang Garam, Asli, Grendel termasuk klas atas, berikut Comodore, Kansas, AA, Indojaya, Union dan beberapa merek lainnya merupakan rokok yang ada di kampung. Keluarga yang datang dari rantau juga akan menyuguhkan rokok pada anak-anak yang merupakan bagian keluarganya. Selain merek di atas juga akan terlihat dari rantau merk Dunhil, 555 dan Ardath, yang sekaligus penanda rokok lebih berkelas. Kenapa diizinkan, bahkan dianggap sebagai bagian dari rasa bangga orangtuanya.
Ini dikarenakan rokok masa itu merupakan ukuran keberhasilan, pergaulan, kesenangan dan kebahagiaan orang dewasa. Kesenangan dan kebahagiaan inilah yang kemudian ingin ditransfer ke anak-anaknya dimasa bahagia lebaran, namun tidak di luar lebaran. Itu, karena masyarakat belum paham dampak kesehatannya bagi masyarakat. Mereka paling menasehati jangan terlalu banyak, agar jangan mabuk. Dapat diartikan bahwa sepemahaman mereka akibat merokok hanyalah mabuk yang sifatnya hanya sebentar saja dan juga alasan beban ekonomi. Saat ini masyarakat dikampung yang sama sudah melarang anak-anak merokok, meskipun lebaran.
Mereka sudah tau bahwa merokok bukan lagi bagian dari wujud kasih sayang, karena akan merusak paru-paru anak sejak dini. Sekilas, ini menggambarkan bahwa merokok zaman dulu syah-syah saja di mata msyarakat, kemudian dengan ilmu, hal tersebut ternyata tidak dapat dibenarkan sehingga masyarakat juga setuju dilakukannya perubahan. Dalam persfektif perubahan sosial, memang masyarakat dapat berubah sikap dan perilaku dengan asupan ilmu. Dan ini bukti bahwa dikampung saja ternyata orang bisa berubah membaik. Karakter masyarakat berupa kesenangan dan kebahagianpun bila salah dengan ilmu bisa berubah.
Demikian juga bangsa ini, dengan pengecapan pendidikan yang semakin baik, secara logika pastilah karakternya akan semakin membaik. Namun dalam keseharian, senyatanya dirasakan bahwa karakter anak bangsa semakin hari rasanya semakin sulit dipahami. Tentulah sangat menarik ketika pendidikan bangsa ini di klaim jauh membaik, tapi di sisi lain bangsa ini juga berjibaku membangun karakter bangsa di sekolahan yang menunjukkan bahwa bangsa ini memang benar-benar karakternya terpuruk.
Sampai-sampai masyarakat di tahun-tahun silam terkesima ketika mendengar kata ‘revolusi mental’, dengan penuh harap adanya perubahan yang lebih cepat karena sampai menjadi satu prioritas bangsa. Namun, setelah bertahun-tahun kemudian, baru-baru ini Mahfud menyebut istilah ‘industri hukum’ yang menggambarkan bagian dari mentalitas bangsa yang sudah hampir larut di dalam lingkaran korupsi itu sendiri. Dan masih banyak sikap dan perilaku lainnya yang sudah menjadi perbincangan pendidikan.
Tentulah kita akan menuduhkan karakter sebagai biangnya, sebagai ekor dari pendidikan pula. Sehingga, layak rasanya mendiskusikan dimana bagian dari pendidikan kita yang harus dibenahi. Karena bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika, 90 % kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur dan hubungan interpersonal yang buruk. Sebaliknya, terindikasi bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient. Character education sangat erat hubungannya dengan pendidikan moral dimana tujuannya adalah untuk membentuk dan melatih kemampuan individu secara terus-menerus guna penyempurnaan diri kearah hidup yang lebih baik.
Maka Thomas Lickona, mengartikannya sebagai usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Jadi bukan hanya mengajarkan materi pelajaran tetapi juga mampu menjadi seorang teladan. Hal ini sesuai dengan fungsinya untuk membentuk pribadi yang bermoral, berakhlak mulia, bertoleran, tangguh, dan berperilaku baik. Sangat jelas bahwa character education seharusnya dilakukan sejak dini, yaitu sejak masa kanak-kanak. Pendidikan ini harus dilakukan di lingkungan keluarga terlebih dahulu, ke sekolah dan lingkungan lainnya.
Dengan demikian tujuan utama pendidikan karakter untuk membangun bangsa yang tangguh, dimana masyarakatnya berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, dan bergotong-royong dapat terwujud. Mencermati bangun karakter pertama dan utama di atas, sama dengan membicarakan pendidikan usia dini, karena di usia inilah dasar yang kuat untuk mengkristalisasi karakter. Artinya karakter bangsa ini sungguh berada ditangan ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi seorang manusia.
Apapan karakter utama yang akan dibangun pada anak seperti kejujuran, sikap toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, kemandirian, sikap demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, sikap bersahabat, cinta damai, gemar membaca, perduli terhadap lingkungan, sikap sosial, rasa tanggungjawab, religious dan lainnya, warnanya ditentukan pertama oleh ibu. Lingkungan sosial keluarga adalah faktor penentu berikutnya. Sayangnya falsafah-falsafah adat sering dianggap kolot dan terbelakang sehingga tergerus dengan kondisi perubahan zaman.
Padahal hakiki dari karakter adalah moral. Sedang pelanggaran moral belum tentu dapat dijamah dengan hukum negara akan tetapi berada di ranah sangsi sosial masyarakat. Pendidikan formal memegang peran berikutnya. Namun penting dipahami bahwa karakter bukan masalah pengajaran dalam arti transfer of moral knowledge, akan tetapi lebih pada pemodelan atau percontohan melalui interaksi edukatif yang dapat mengkondisikan suasana pembelajaran untuk menumbuhkan sikap positif serta prilaku dalam melaksanakan nilai-nilai.
Jadi bukan soal administratif seperti kewajiban penerapan RPP, tapi soal sikap, prilaku dan karakter guru dalam melaksanakan peran dan tugasnya sebagai pendidik. Maka harus dicerna dengan baik bahwa tidak ada guru karakter, tapi semua guru harus berkarakter. Inilah yang menguatkan pesan moral ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Sehingga upaya meningkatkan dan mengembangkan kompetensi guru mulai dari kepribadian, sosial, pedagogik dan profesional menjadi suatu keharusan, dan hal itu hanya bisa apabila komitmen profesi guru diperkuat.
Tentu bukan dengan membebani meraka dengan segudang administrasi birokratif. Prinsif yang harus di bangun bahwa menjadi guru merupakan panggilan, menjadi guru merupakan pengabdian. Suka menjadi guru, maka bahagia menjadi guru. Guru yang sedemikianlah yang akan terus mengembangkan kemampuan untuk memberi layanan pendidikan kepada siswa guna ikut merancang masa depan peradaban yang dihiasi nilai-nilai luhur dalam masyarakat. Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan karakter bukan diukur dari makin meningkatnya pengetahuan tentang nilai-nilai, tapi menguatkan akar tanam sikap positif akan nilai-nilai, yang terwujud dalam berprilaku, sehingga peserta didik menjadi tiang utama dalam membangun dan memperkuat karakter bangsa.
Diingatkan kembali bahwa karakter terwujud dalam sikap dan hanya sedikit guru yang berkenan menuntut anak untuk bersikap dan berperilaku. Contoh kecil untuk menyikapi ‘bersuci’ yang diajarkan oleh guru agama sebagi kewajiban untuk menjaga pakaian tetap suci dari najis, sehngga tidak terhalang untuk melaksanakan sholat bila sudah ada waktunya. Guru hanya mengajarkan, dan jarang ditemukan menuntun atau mengecek apakah anak-anak menyikapinya sebagai perilaku hidup disiplin beribadah. Jangankan untuk menuntun, malah banyak pula sekolah yang tidak memiliki fasilitas untuk bersuci di sekolah. Oleh karena itu, sangat penting pemahaman bahwa yang paling tangguh membangun karakter anak adalah ibu.
Hal ini selaras dengan keluarga dan lingkungan sosialnya. Konsep “saanak saboru’ di Mandailing umpamnya, yang telah memberi hak dan kewajiban bagi tiap warga untuk saling membina karakter semua anak yang ada di desanya, harus ditata kembali. Akumulasi anak yang dididik ibu itulah adalah generasi bangsa. Tentu bangun karakter tersebut bersumber dari budaya lokal yang dimiliki ibu masing-masing. Kemudian akumulasi dari budaya lokallah yang mengkristal dan terakumulasi menjadi karakter bangsa dari hasil didikan pertama dan utama dari seorang ibu. Moga dengan Madina Bersyukur, Madina Bebenah dapat menguatkan kembali karakter bangsa secara perlahan di daerah ini. Selamat Hari Pendidikan Nasional dan Idulfitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Dr. M. Daud Batubara, MSi; Bagian dari Forum Komunikasi Pendidik (FKP) Madina.
Posting Komentar untuk "IBU PENDIDIK PERTAMA DAN UTAMA KARAKTER BANGSA"