Memaknai Merdeka Belajar
mdaudbatubara.id, Apa sebenarnya tujuan pendidikan di sekolah? Jika tujuannya adalah untuk menjawab soal, maka kita cukup mengajarkan anak menjawab soal dengan benar.
Namun, jika tujuannya adalah agar anak mampu mempelajari dan menjawab tantangan hidup, maka selaku guru kita perlu mengajarkan murid untuk merdeka belajar. Ini adalah jawaban sekaligus harapan terhadap pendidikan nasional dalam konsep “merdeka belajar” yang diulik dari pidato sang menteri Nadiem Anwar Makarim pada peringatan Hari Guru Nasional tahun 2019 yang dinilai meretas akar masalah manajemen sekolah. Inti pidato tersebut seperti dalam kutipan berikut ini, dirasakan menyentuh langsung oleh banyak kalangan. “… tugas guru yang termulia sekaligus tersulit adalah membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan.
Guru ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu habis mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas. Guru tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan. Guru ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup petualangan. Guru frustasi karena tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghapal.
Guru tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi. Guru ingin setiap murid terinsfirasi, tetapi guru tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi …” Rangkaian kalimat tersebut secara blak-blakan dirasakan guru sebagai hasil akumulasi unek-unek mereka yang tersahuti dalam pengabdian dirinya pada proses manejemen pendidikan nasional yang dalam melaksanakan tugas pokoknya, banyak dikangkangi tugas bersifat admisntrasi birokratif. Kalimat “kemerdekaan belajar di Indonesia” dirasakan banyak kalangan menjadi inti jawaban atas masalah yang dihadapi guru dalam praktik pendidikan.
Bobot utama dari pidato tersebut adalah penataan manajemen sekolah yang harus merdeka, karena hal tersebut berhubungan dengan manajemen sekolah yang ditata kepala sekolah. Tentulah para kepala sekolah harus menerjemahkan kata “merdeka” ini bukan sebagai kebebasan semata, tapi menuntun dan menuntut kualitas diri dan hasil kerja yang lebih baik. Merdeka juga dipahami sebagai kondisi lepasnya dari kekangan birokratis yang menghimpit tugas utama mengajar selama ini. Hal ini sejalan dengan pemahaman kata “merdeka” sebagai manusia yang bebas. KBBI memahamkan “merdeka” dalam tiga penguatan, yakni: Bebas dari perhambaan, penjajahan, berdiri sendiri dan sebagainya; Tidak terkena atau lepas dari tuntutan; dan Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu dan leluasa.
Setidaknya kata merdeka telah memberi kenyamanan dan kelegaan dalam benak diri, rasa bebas dari belenggu dan peluang memanfaatkan hak yang seimbang dengan kewajiban. “Belajar” menurut Sagala (2006), dipahamkan sebagai usaha atau berlatih supaya mendapatkan suatu kepandaian. Bukan semata kegiatan menghafal dan bukan mengingat. Berdasarkan kajian diatas maka konsep “Merdeka” dan “Belajar” dapat dipersepsikan sebagai upaya menciptakan lingkungan belajar yang bebas berekspresi, bebas dari berbagai hambatan terutama tekanan psikologis.
Bagi guru dengan memiliki kebebasan tersebut lebih fokus untuk memaksimalkan pada pembelajaran guna mencapai tujuan (goal oriented) pendidikan nasional, namun tetap dalam rambu kaidah kurikulum sesuai otonomi guru. Dengan demikian, konteks “merdeka belajar” memiliki makna bahwa sekolah, guru dan muridnya mempunyai kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan mandiri, nyaman dan kreatif. Bagi siswa bebas untuk berekspresi selama menempuh proses pembelajaran di sekolah, namun tetap mengikuti kaidah aturan di sekolah. Siswa bisa lebih mandiri, bisa lebih banyak belajar untuk mendapatkan suatu kepandaian dan hasil dari proses pembelajaran tersebut siswa berubah secara pengetahuan, pemahaman, sikap/karakter, tingkah laku, keterampilan dan daya reaksinya sesuai otonomi sekolah.
Gagasan “merdeka belajar” yang muncul saat ini boleh jadi bagian dari pemikiran Ki Hajar Dewantara yang didefeniskan pada saat-saat perjuangan kemerdekaan dari bangsa penjajah pada saat itu, sehingga secara teori keduanya ternyata memiliki benang merah. Hal ini terlihat pada salah satu dari lima dasar pendidikan mengajarkan untuk menjunjung tinggi kemerdekaan. Kemerdekaan diri harus diartikan swadisiplin atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Kemerdekaan harus juga menjadi dasar untuk mengembangkan pribadi yang kuat dan selaras dengan masyarakat (Afifuddin, 2007).
Lebih lanjut disebut pula bahwa implementasi pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir dan batin, sedangkan merdekanya kehidupan batin berasal hasil dari pendidikan. Sisi lainnya, pemunculan tag “merdeka belajar” bisa pula dilatarbelakangi pandangan terhadap kondisi pendidikan yang hampir sudah kehilangan hak-hak penyelanggaraan sekolah yang baik dan benar. Sesungguhnya boleh disebut bahwa dari sisi akademis secara menyeluruh bahwa pendekatan-pendekatan pendidikan yang dikuasai oleh para ahli dan akademisi di negara ini sudah cukup baik. Para penyelenggara pendidikan (terutama di unit satuan pendidikan) juga sudah memiliki kematangan untuk bertindak dalam menjalankan manajemen pendidikan (sekolah).
Ini artinya secara akademis kesiapan pelaku pendidikan sudah cukup matang. Menjadi masalah utama adalah masukan para akademisi belum dapat ditangkap sepenuhnya sebagai kebijakan yang benar-benar memberi kesempatan untuk melaksanakan otonomi pendidikan terutama di unit satuan pendidikan, yang mungkin karean dua hal yakni, kematangan pengambil kebijakan selama ini belum mampu mengimbangi kepahaman pendidikan atas masukan dari ahli dan akademisi, atau tingginya format kepentingan politik tertentu yang melatarbelakanginya.
Padahal kita sudah mengambil pendekatan utama pendidikan yang berbasis pada otonomi pendidikan yang format teorinya sangat jelas. Pengangkangan pendekatan otonomi pendidikan yang dirasakan para pelaku pendidikan tidak pernah diindahkan inilah yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam memunculkan ide, kreasi dan inovasi dalam dunia pendidikan, untuk disesuaikan dengan karaktersitik daerah dan juga unit satuan pendidikan, sehingga munculnya proses pendidikan yang seragam, monoton dan penuh administrasi birokratif yang tidak diimbangi tanggunjawab moral akademis. Praktek pengangkangan tersebut telah berlangsung sangat lama, dan ini mirip bom waktu yang telah diwanti-wanti dan menjadi perhatian serius banyak kalangan pendidikan, yang serasa proses manajemen pendidikan di negeri ini belum merdeka.
Kondisi inilah yang oleh seorang menteri Nadiem meledakkan bom dengan tag “Merdeka” dengan tujuan memerdekakan proses manajemen pendidikan yang benar-benar merdeka yakni memiliki kebebasan yang teratur pada zona yang nyaman bagi semua pihak. Dengan demikian penting artinya dipahami dengan baik bahwa “merdeka belajar” bukanlah satu metode akan tetapi lebih cenderung pada sikap pengelolaan manajemen pendidikan yang dibuat dalam kebijakan penyelenggaraan. Bisa dikatakan bahwa “merdeka belajar” sebagai konsep pemicu penguatan otonomi pendidikan.
Dengan menyikapi kebijakan inilah, mungkin kebijakan otonomi pendidikan dapat dihidupkan kembali. Sehingga, seluruh anak didik Indonesia memilik ragam cara belajarnya masing-masing. Tidak kalah penting pula komponen pendidikan harus dididik berani merdeka. Jangan sampai komponen pendidik tidak berani merdeka karena rasa takut terhadap kebiasan tekanan dari pihak-pihak tertentu selama ini, atau sengaja tidak merdeka karena merasa nyaman berada di zona aman mengikuti format kepentingan politik tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendididikan “merdeka belajar” memiliki makna sebagai sebuah Grand Design pendidikan nasional yang bertujuan untuk perubahan secara fundamental dalam mengakselari lahirnya SDM Indonesia Unggul, berkarakter, cerdas, dan berdaya saing, dalam konteks upaya pengembalian pendekatan otonomi pendidikan yang benar-benar merdeka. Sehingga sangat penting diterapkan dalam manajemen pendidikan terutama pada di unit satuan pendidikan menjadi “sekolah merdeka”.
Hal ini dilakukan mengingat pada kondisi sekarang ini begitu mendesak tuntutan untuk melakukan investasi besar-besaran pada pengembangan kualitas sumber daya manusia dengan target mempersiapkan Generasi Emas 2045. Target tersebut menjadi acuan yang luar biasa diharapkan seluruh komponen bangsa tercapai pada saat menyambut 100 tahun Indonesia Merdeka, dengan capaian tingkat kesejahteraan, keharkatan dan kemartabatan yang tinggi, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
Posting Komentar untuk "Memaknai Merdeka Belajar"